Pagi di Kalimantan selalu diwarnai oleh bunyi burung-burung cuit yang berterbangan, atau suara teriakan monyet yang berkejaran, dan pagi ini seperti hari minggu biasanya, aku bersama teman-teman akan pergi bermain kelereng. Saat itu tidak banyak hal yang bisa kau lakukan sebagai anak SD, tidak ada smartphone, komputer ataupun video game. Permainan yang paling menarik hanyalah main kelereng, wayang kertas, layangan dan sepak bola di sore hari, dan entah mengapa tiga permainan pertama itu musiman.

Sampai sekarang aku belum menemukan alasan logis kenapa bermain kelereng di masa itu punya musim khusus, setiap setahun ada setidaknya dua bulan musim main kelereng, dan setelah itu kami berhenti main kelereng, terkadang kelereng yang telah menumpuk akan kami kuburkan untuk diambil pada musim kelereng di tahun mendatang. Pergantian musim permainan ini seolah-olah telah direncanakan atau dikomando secara serentak.

Jadi entah pada suatu masa, sepulang sekolah, tiba-tiba salah seorang temanku menolak bermain kelereng dan berkata "sekarang udah musim wayang". Saat itu pula aku berhenti bermain kelereng. Biasanya sedia senjata sebelum perang, membawa kelereng di saku celana setiap kali keluar rumah, sekarang berganti menjadi sedia wayang kertas.

Hal Ini terjadi hampir pada semua anak di usiaku. Kami tak pernah saling bertanya, siapa sebenarnya yang memutuskan pergantian musim ini? Siapa yang mengomando? Karena memang terkadang aku merasa ini nggak adil, sering kali musim kelereng berakhir ketika aku baru saja membeli sekodi kelereng, terpaksa harus menguburkannya dengan cuma-cuma. Tapi memang kalau memaksa bermain kelereng di musim wayang itu maka akan dikucilkan dan nggak punya teman.

Kalau saja saat ini aku mendalami ilmu sosial dan kemasyarakatan, maka ini bisa menjadi topik penelitian yang menarik. Bagaimana sebenarnya trend-trend pada masa kecil dulu berubah dengan sangat cepat. Sepanjang pengamatanku, perubahan trend dari main wayang menjadi main layang-layang, ini dipengaruhi oleh adanya angin. Ketika sudah musim angin, maka anak-anak akan meninggalkan wayang kertas dan bermain layang-layang. Sama halnya perubahan dari musim memancing ke musim bermain kelereng, ini tentu saja dipengaruhi oleh jumlah dan persebaran ikan, ketika jumlah ikan kian menipis, anak-anak akan beralih bermain kelereng.

Yang masih aneh ialah perubahan musim dari bermain kelereng ke bermain wayang. Ini sangat sulit untuk dipelarjari dan diketahui penyebabnya. Faktor-faktor apa yang menginisiasi anak-anak untuk berubah dari bermain kelereng ke bermain wayang? Biarlah itu tetap menjadi misteri.

Selain permainan musiman tersebut, kami anak-anak borneo sering sekali bermain ke hutan. Biasanya ini dilakukan pada musim buah, tentu saja untuk berburu buah-buahan di hutan. Kadang kami membuat rumah pohon yang dengan segala bentuknya sungguh tidak aman untuk ditempati.

Bermain ke hutan, disengat lebah, bertemu kalajengking, lipas dan ular merupakan hal yang tidak terlalu menghebohkan buat kami. Terkadang karena terlalu asik bermain di hutan, kami sampai lupa waktu, kembali ke rumah setelah Adzan Ashar akan membuatku mendapatkan beberapa pukulan dari Abah, karena tidak ikut mengaji di TPA. Bagaimanapun aku bersyukur atas pengalaman-pengalaman masa kecil yang unik ini. Pengalaman masa kecilku telah membentuk pribadiku yang sekarang, sekaligus menjadi sesuatu yang paling menarik ketika kuceritakan kepada teman-teman sekelasku di Jepang.